Kesadaran # 3

Kesadaran Saat Tidur

Ada tahap ke tiga, disebut tidur lelap, ketika kita bukan saja tidak menyadari tubuh, tetapi bahkan fungsi-fungsi psikologis tidak hadir di sana. Benak tidak berpikir, intelektualitas tidak memutuskan, dan kita bahkan tidak tahu bahwa kita ada. Eksistensi kita ditiadakan. Tidak ada apa-apa. Nothing. Tidur lelap – tidur tanpa gangguan mimpi – adalah tahap tidak ada apa-apa, bahkan kita tidak menyadari bahwa saat itu tidak ada apa-apa. Menyadari bahwa tidak ada apa-apa adalah sesuatu, bahkan untuk tidak menyadari bahwa tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa adalah murni (unadulterated).

Lalu, apa yang terjadi saat tidur lelap? Apakah kita mati? Tidak, kita hidup sehidup-hidupnya. Siapa yang bilang bahwa kita hidup pada saat tidur lelap, saat yang kita sebut nothing, saat kesadaran secara total dihapuskan oleh sesuatu? Ketika kita bahkan tidak menyadari bahwa kita ada, bagaimana bisa disimpulkan bahwa pada saat itu kita hidup?

Tidak ada yang bilang. Kita sendiri yang menyimpulkan, “Saya adalah orang yang sama sekarang seperti ketika saya berangkat tidur kemarin.” Kalimat itu menyiratkan suatu kesimpulan bahwa saya tetap ada saat tidur. Tapi bagaimana kita tahu bahwa kita adalah orang yang sama? Bagaimana jika ternyata kita adalah orang lain? Bagaimana jika ternyata setiap hari kita berubah dan menjadi orang lain?

Kenyataannya bukan begitu yang terjadi. Suatu kesinambungan (continuity) kesadaran tetap terjaga antara pengalaman kemarin dan pengalaman hari ini. Tidakkah ini menarik? Kita sangat yakin bahwa kita adalah orang yang sama dengan kita yang kemarin, dan kesadaran itu terus berlanjut walau melewati kondisi tidur. Keadaan ini membuat kita merasa ada hari ini sama seperti kita ada kemarin. Artinya, kita memang ada di tahap tidur lelap. Buktinya hanya keyakinan bahwa kita adalah orang yang sama dengan kita yang kemarin. Kita memiliki memori tentang tidur. Ada sesuatu dalam diri kita yang tetap ‘on‘ saat tidur. Itulah KESADARAN. Kesadaran saat tidur lelap disebut prajnā.

Ada kesadaran saat tidur lelap, dan keberadaan (existence) kita hanya sebagai kesadaran. Kita tidak ada sebagai tubuh, pikir, akal, atau apapun yang lain. Saat tidur lelap kita bahkan tidak tahu bahwa kita bernafas. Dengan demikian hakikat esensial kita adalah kesadaran. Tidak perlu repot-repot membayangkan bahwa kita adalah tubuh, pikir, akal, atau apapun yang lain, karena minus semua kelengkapan tubuh itu pun kita bisa ada. Jika ‘aku’ bisa ada tanpa sesuatu, maka sesuatu itu pasti bukan ‘aku’. Jika aku bisa aman tanpa sesuatu, maka sesuatu itu pasti berlebihan. ‘Aku’ adalah kesadaran murni. Pada tataran itu ‘aku’ ada. Tidak ada hal lain bisa disebut sebagai atribut keberadaan pada tataran kesadaran murni. Kesadaran adalah hakikat esensial kita.

Kita sadar akan apa? Sadar akan nothing; sadar akan kesadaran semata. Inilah kesadaran akan keberadaan, tentang sesuatu yang kita pernah tahu. Ini bukan kesadaran akan sesuatu, tetapi kesadaran akan keberadaan kesadaran. Kita sadar bahwa kita sadar – itu saja, tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Ini kesadaran diri; dan kita sangat bahagia, karena kesadaran adalah juga kebahagiaan. Kita merasa bahagia setelah tidur lelap dan karena itu kita sering ingin melajutkan tidur, bukan? Begitu bebasnya kita saat tidur hingga kita ingin tidur lagi. Tidak ada kesusahan dan kekacauan dunia di sana. Kadang kita berkata, “Biarkan aku tidur dan melupakan kekejaman dunia ini.”

Kesadaran Murni (Sat-Chid-Ānanda) adalah hakikat sejati kita saat tidur lelap. Kesadaran ini tidak semata ada di dalam tubuh, sebagaimana secara salah kita bayangkan. Kesadaran Murni tidak berada di dalam apapun. Kesadaran Murni adalah apapun. Kesadaran adalah yang meresapi; kesadaran tidak terbatasi pada satu individualitas saja. Menyadari bahwa kesadaran hanya ada di satu tempat dan tidak ada kesadaran di tempat lain, justru berarti menerima bahwa kesadaran sebenarnya ada di tempat lain juga. Jika tidak, bagaimana kesadaran tahu bahwa ada atau tidak ada kesadaran tempat lain kecuali ia pernah berada di tempat lain itu. Jadi negasi bahwa tidak ada kesadaran di tempat lain sesungguhnya adalah afirmasi terhadap kesadaran di tempat lain. Negasi adalah determinasi.

Kita sudah memahami bahwa saat tidur lelap, kita ada sebagai Kesadaran Murni, bukan kesadaran kecil di dalam tubuh. Kesadaran kosmis atau kesadaran universallah yang ada saat tidur lelap. Kesadaran universal adalah hakikat esensial kita saat tidur lelap. Tapi, mengapa kita tidak menyadari kondisi ini? Apa yang sesungguhnya terjadi?

Kita telah melewati berbagai kehidupan; kita telah mengalami banyak kelahiran. Ini adalah satu mata rantai dari rangkaian panjang dari kelahiran-kelahiran yang kita alami, mungkin ribuan jumlahnya. Di setiap kelahiran kita memikirkan sesuatu, merasakan sesuatu, dan melakukan sesuatu; dan setiap pemikiran, setiap rasa, dan setiap tindakan, menciptakan impresi pada jiwa. Jiwa (psyche) tidak lain adalah pusat kesadaran individual. Impresi tidak lain adalah sisa keinginan yang tertinggal setelah pengalaman tertentu. Jika kita melihat sesuatu, kita ingin melihatnya lagi. Jika kita suka sesuatu, kita mengingininya terus dan terus, lagi dan lagi, sebanyak mungkin.

Suka dan tidak suka adalah dasar operasi pikir individual, yang menciptakan impresi berupa alur dalam benak, dan memaksa jiwa untuk mengulangi pengalaman yang sudah dimiliki sebelumnya. Ini terjadi dari hari ke hari, setiap hari. Kita menimbun impresi, hingga impresi-impresi ini menumpuk sedemikian rupa, satu di atas yang lain, menjadi sesuatu seperti awan tebal yang melingkupi kesadaran. Ini terjadi dalam satu kehidupan. Ketika situasi ini terjadi pada banyak kehidupan, apa yang akan terjadi? Kegelapan mutlak seperti gerhana matahari atau tengah malam pekat – mungkin seperti suasana di musim hujan yang kacau ini, bahkan saat kita dalam kondisi terjaga, bahkan di siang hari. Awan itu menggantung begitu berat melingkupi kita, hingga tidak memungkinkan kita untuk menyadari bahwa kita sadar di tahap tidur lelap.

Karena beban berat yang menindih, diri transendental, yaitu hakikat kita saat tidur lelap, hampir merupakan negasi terhadap keberadaan kita. Pengalaman kesadaran transendental saat tidur lelap tidak mempunyai signifikansi apapun bagi kita karena beban potensial karma yang memaksa kita untuk berpikir hanya dengan satu cara. Stereotipikal. Kita seolah-olah memakai kaca mata kuda sehingga tidak bisa berpikir dengan cara lain. Banyak kehidupan kita jalani, kelahiran demi kelahiran kita lewati, tapi kita tetaplah orang yang sama. Kita tidak menjadi berbeda karena didera hasrat yang dihasilkan oleh impresi-impresi sebelumnya; dan seperti kuda dihela dan dipaksa untuk berjalan ke satu jurusan saja, kita dipaksa untuk berpikir dengan satu cara saja – di sini, kali ini, karena ini, benda ini, orang ini, saya ini, orang lain ini. Bagaimana kita bisa membebaskan diri? Berlatih.

bersambung

Selanjutnya: KESADARAN # 4: Latihan Pembebasan Diri

.

.

Sila beri tanggapan