Yama # 2: Satya

2. SATYA

Satyapratiṣṭhāyāṁ kriyāphalāśrayatvam (Yoga-Sūtra II.36)
Ketika tetap berpegang pada kebenaran sejati, kata-kata akan menjadi kenyataan.

Ego berusaha menentukan suka dan tidak sukanya dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan berkata dusta. Ketidakjujuran adalah penegasan ego dengan caranya sendiri, untuk kepentingannya sendiri, walau itu berarti suatu bentuk kejahatan yang lain. Satya atau perilaku jujur mengurangi dominasi ego sampai batas tertentu. Kejujuran berkorespondensi dengan kebenaran. Yoga menekankan pentingnya berpegang pada Kebenaran Sejati.

Suatu ketika mungkin timbul dilema. Kadang kejujuran justru menggiring kepada masalah dan kita mungkin tergoda untuk berkata dusta. Kita harus melihat konsekuensi tindakan dan perilaku kita sebelum memutuskan apakah itu bajik atau tidak. Kebenaran yang membawa dampak buruk adalah ketidakbenaran. Kalau begitu, apakah lebih baik jika kita berkata dusta? Ada kisah menarik dalam Mahābhārata.

Dikisahkan, Arjuna akan berhadapan dengan Karna dalam pertempuran. Kresna menjumpainya dan menyampaikan bahwa Yudhistira sangat khawatir jika nantinya Arjuna akan pulang dengan luka parah. Kresna dan Arjuna kemudian sepakat untuk pergi menemui Yudhistira dan menyapanya. Yudhistira sangat senang melihat Arjuna, terutama karena mengira bahwa Arjuna telah mengalahkan Karna. Ia bersorak atas peristiwa gembira itu. Tetapi ketika Arjuna mengungkapkan bahwa Karna belum mati dan bahwa mereka datang hanya untuk menemuinya, Yudhistira dengan ketus berkata kepada Arjuna bahwa akan lebih baik jika busur Gandiwa itu diberikan saja kepada orang lain.

Sontak Arjuna mencabut kerisnya. Dengan tangkas Kresna menangkap tangannya dan bertanya apa masalahnya. Arjuna menceritakan sumpah rahasianya bahwa ia akan membunuh siapa saja yang menghina busurnya. Kresna terkejut akan kebodohan Arjuna dan menasihatinya bahwa mengucapkan kata-kata tidak baik terhadap orang yang lebih tua adalah sama dengan membunuhnya, dan akan lebih baik jika Arjuna menghina Yudhistira dengan tidak hormat daripada membunuhnya, karena membunuh adalah dosa besar. Maka, dengan kata-kata keji Arjuna menghina Yudhistira.

Sesaat kemudian, Arjuna kembali menghunus kerisnya. Kresna pun kembali menuntut penjelasan. Arjuna mengatakan bahwa ia akan bunuh diri karena itu adalah sumpahnya yang lain jika ia menghina orang yang lebih tua. Lagi-lagi Kresna tersenyum melihat tingkah polah Arjuna dan mengatakan bahwa memuji diri sendiri adalah sama dengan bunuh diri dan Arjuna bisa mengambil jalan itu. Maka, Arjuna memuji dirinya sendiri dengan sangat sombong.

Coba bayangkan, akibat yang harus ditanggung Yudhistira jika harus berhadapan dengan keris pusaka Arjuna demi menjaga ucapannya.

Tidak ada standar baku yang bisa diterapkan untuk setiap waktu, dan setiap situasi. Bahkan seorang ahli hukum seperti Bisma pun tidak bisa menjawab kebingungan Drupadi – menjaga sumpah adalah sesuai dengan satya, sementara membunuh ataupun melakukan bunuh diri bertentangan dengan ahimsā. Tapi moralitas bukan rumus matematika yang kaku.

Kebenaran tidak harus mengundang cedera. Manu, dalam smriti yang ditulisnya, melihat bahwa orang harus bicara kebenaran, tetapi ucapkan dengan manis. Orang tidak boleh bicara kebenaran yang tidak menyenangkan; atau bicaralah ketidakbenaran ketika ketidakbenaran itu manis. Bagaimanapun, aturan besarnya adalah, bahwa kebenaran yang menyakiti adalah ketidakbenaran, meskipun tampak seperti kebenaran dari luarnya. Tindakan dan pikiran harus memiliki relevansi dengan tujuan utama kehidupan. Hanya dengan begitu tindakan dan pikiran menjadi kebenaran. Harus ada keselarasan antara niat dan tujuan. Apakah tindakan punya koneksi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan alam semesta? Jika jawaban untuk pertanyaan ini adalah afirmatif, maka langkah yang diambil dapat dianggap sesuai dengan kebenaran.

Berbicara tentang kebenaran adalah menjaga koordinasi antara kebenaran yang sesungguhnya dengan sesuatu yang diekspresikan sebagai kebenaran. Dengan terus-menerus menjaga harmoni antara kata dan kebenaran, maka kata yang diucapkan akan menjadi kenyataan. Kata yang selaras dengan kebenaran adalah kekuatan yang memicu materialisasi nilai; semesta akan menganggapnya sebagai teman, dan semuanya menjadi ramah.

Kadang, bukan hanya kata terucap, tetapi pikiran pun bisa termaterialisasikan, karena selalu ada koneksi antara kata dengan pikir. Kita tidak perlu bicara, tapi sekadar berpikir saja – itu sudah cukup. Berpikir setara dengan bicara. Suatu ‘rasa’ yang muncul dalam benak akan menimbulkan dampak. Ketika membayangkan sesuatu akan terjadi, dengan cara yang sama, pikir akan menjalin harmoni dengan kebenaran. Dan ketika pikiran selaras dengan kebenaran, maka akan muncul perwujudan kebenaran yang sesuai dengan hakikat pikiran. Dengan demikian terwujudnya pikiran dan menjadi kenyataan adalah hasil dari praktek ahimsā dan satya. Jika hujan katamu, maka hujan pun turun 🙂  (ret)

BERSAMBUNG

Selanjutnya: Yama # 3: Asteya 

.

.

Sila beri tanggapan